sumber : http://myfitri.com/tips/tips-pangsapuri-vs-rumah-teres/
Friday, June 1, 2012
rental house in city's slum
sumber : http://myfitri.com/tips/tips-pangsapuri-vs-rumah-teres/
Location:
Jakarta, Indonesia
Thursday, May 31, 2012
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
1
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2005
TENTANG
PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menjaga keutuhan wilayah negara, serta meningkatkan
kesejahtereaan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulaupulau
kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang
sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan, dan keamanan;
b. bahwa pulau-pulau kecil tertular Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar
dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan
Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea/Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3493);
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3501);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3851);
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437);
11. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4439);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4211);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(1) Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
a. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya
pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000
km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis
yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum
internasional dan nasional.
(2) Pulau-pulau kecil terluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan koordinat
titik terluarnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden
ini.
BAB II
TUJUAN DAN PRINSIP PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
Pasal 2
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:
a. menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional,
pertahanan Negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan.
b. memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan;
c. memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
3
Pasal 3
Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah:
a. Wawasan nusantara;
b. Berkelanjutan;
c. Berbasis masyarakat.
Pasal 4
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
BAB III
PENGELOLAAN
Pasal 5
1. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
2. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang:
a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
b. infrastruktur dan perhubungan;
c. pembinaan wilayah;
d. pertahanan dan keamanan;
e. ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
1. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi.
2. Susunan keanggotaan Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. Ketua : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
b. Wakil Ketua : Merangkap anggota
1. Wakil Ketua I : Menteri Kelautan dan Perikanan
2. Wakil Ketua II : Menteri Dalam Negeri
c. Anggota:
1. Menteri Pertahanan
2. Menteri Luar Negeri
3. Menteri Perhubungan
4. Menteri Pekerjaan Umum
5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
6. Menteri Kesehatan
7. Menteri Pendidikan Nasional
4
8. Menteri Keuangan
9. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
10. Menteri Kehutanan
11. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
12. Menteri Negara Lingkungan Hidup
13. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
14. Sekretaris Kabinet
15. Panglima Tentara Nasional Indonesia
16. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
17. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)
c. Sekretaris: Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Pasal 7
1. Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) merupakan wadah
koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden.
2. Tim Koordinasi mengadakan rapat koordinasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
setiap 6 (enam) bulan.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi dapat mengundang dan atau meminta
pendapat dari instansi-instansi pemerintah terkait dan atau pihak lain yang dianggap
perlu.
4. Tim Koordinasi menyampaikan laporan kepada Presiden setiap 6 (enam) bulan dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 8
Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar;
b. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
Pasal 9
1. Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi sehari-hari dibantu oleh Tim Kerja yang
dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
2. Tim Kerja terdiri dari 2 (dua) tim, yaitu:
i. Tim Kerja I membidangi sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan
perhubungan, ekonomi, sosial, dan budaya;
ii. Tim kerja II membidangi pembinaan wilayah pertahanan dan keamanan.
3. Tim Kerja I diketuai oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
4. Tim Kerja II diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, dan tata kerja
Tim Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (10 sampai dengan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
5
Pasal 10
1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri
Kelautan dan Perikanan dibantu oleh Sekretariat.
2. Sekretariat mempunyai tugas memberikan pelayanan administratif.
3. Sekretariat secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja struktural di lingkungan
Departemen Kelautan dan Perikanan yang menangani pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
4. Ketua Sekretariat ditunjuk oleh Menteri Kelauatan dan Perikanan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 11
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2005
TENTANG
PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menjaga keutuhan wilayah negara, serta meningkatkan
kesejahtereaan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulaupulau
kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang
sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan, dan keamanan;
b. bahwa pulau-pulau kecil tertular Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar
dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan
Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea/Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3493);
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3501);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3851);
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437);
11. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4439);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4211);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(1) Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
a. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya
pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000
km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis
yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum
internasional dan nasional.
(2) Pulau-pulau kecil terluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan koordinat
titik terluarnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden
ini.
BAB II
TUJUAN DAN PRINSIP PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
Pasal 2
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:
a. menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional,
pertahanan Negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan.
b. memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan;
c. memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
3
Pasal 3
Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah:
a. Wawasan nusantara;
b. Berkelanjutan;
c. Berbasis masyarakat.
Pasal 4
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
BAB III
PENGELOLAAN
Pasal 5
1. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
2. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang:
a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
b. infrastruktur dan perhubungan;
c. pembinaan wilayah;
d. pertahanan dan keamanan;
e. ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
1. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi.
2. Susunan keanggotaan Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. Ketua : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
b. Wakil Ketua : Merangkap anggota
1. Wakil Ketua I : Menteri Kelautan dan Perikanan
2. Wakil Ketua II : Menteri Dalam Negeri
c. Anggota:
1. Menteri Pertahanan
2. Menteri Luar Negeri
3. Menteri Perhubungan
4. Menteri Pekerjaan Umum
5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
6. Menteri Kesehatan
7. Menteri Pendidikan Nasional
4
8. Menteri Keuangan
9. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
10. Menteri Kehutanan
11. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
12. Menteri Negara Lingkungan Hidup
13. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
14. Sekretaris Kabinet
15. Panglima Tentara Nasional Indonesia
16. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
17. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)
c. Sekretaris: Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Pasal 7
1. Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) merupakan wadah
koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden.
2. Tim Koordinasi mengadakan rapat koordinasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
setiap 6 (enam) bulan.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi dapat mengundang dan atau meminta
pendapat dari instansi-instansi pemerintah terkait dan atau pihak lain yang dianggap
perlu.
4. Tim Koordinasi menyampaikan laporan kepada Presiden setiap 6 (enam) bulan dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 8
Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar;
b. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
Pasal 9
1. Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi sehari-hari dibantu oleh Tim Kerja yang
dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
2. Tim Kerja terdiri dari 2 (dua) tim, yaitu:
i. Tim Kerja I membidangi sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan
perhubungan, ekonomi, sosial, dan budaya;
ii. Tim kerja II membidangi pembinaan wilayah pertahanan dan keamanan.
3. Tim Kerja I diketuai oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
4. Tim Kerja II diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, dan tata kerja
Tim Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (10 sampai dengan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
5
Pasal 10
1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri
Kelautan dan Perikanan dibantu oleh Sekretariat.
2. Sekretariat mempunyai tugas memberikan pelayanan administratif.
3. Sekretariat secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja struktural di lingkungan
Departemen Kelautan dan Perikanan yang menangani pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
4. Ketua Sekretariat ditunjuk oleh Menteri Kelauatan dan Perikanan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 11
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Wednesday, May 30, 2012
Border Area Development Programme
The program is intended to: (1) maintain the territorial unity of Jambi Province through the establishment of a right guaranteed by national law, (2) improving the welfare of local communities to explore the potential economic, social and cultural as well as advantages in a very strategic geographic location to connect with neighboring provinces.
The main activities to be performed to mefasilitasi local government are:
1. Strengthening local government in accelerating the improvement of quality of life and welfare of the community through: (a) an increase in construction of infrastructure and social and economic infrastructure, (b) capacity building, (c) empowerment and institutional capacity of the government apparatus, (d) increased mobilization of development finance;
2. Increased defense of government in financing development, especially for the construction of economic infrastructure in the border regions and small islands through, inter alia, the implementation of various schemes of development financing such as: giving priority special allocation fund (DAK), and other schemes.
Thursday, January 26, 2012
Spatial Planning Program
Spatial plan is the basis or reference for the development of spatial policy across sectors and regions in order to use the space can be synergistic and sustainable. Provincial Spatial Plan (RTRWP) has established norms of spatial utilization of spatial regions. Provincial Spatial contain: (a) the pattern of spatial use of protected areas and aquaculture areas in Jambi Province, (b) the structure of the development of network facilities and infrastructure areas, including residential centers. Therefore, it is very important to take advantage of Jambi Province Spatial arrangement of space as a reference area, which is then translated into RTRW Regency / City.
1. Special Area Development
- Development of fast-growing region, and strategic location;
- Development of areas of potential / prospective, which has the potential wealth of natural resources;
- Development of backward areas, which lack the natural resources and or isolated, including border areas;
- Development of marine-based region.
2. Fast Growing Area Development Policy and Strategic
- Improved and superior product diversification;
- Increased trade flows between regions;
- Improved functionality and small town outside of Edinburgh;
- Improved infrastructure and inter-regional economy;
- Increased investment and business climate;
- Increased cooperation and effort;
- Increased capacity among local governments in economic development regional / local;
- Control of the environmental quality of neighborhoods;
- Improved quality of life.
3. Policy Area Development Profektif
- Improving the investment climate and the ease of licensing in the development of prospective areas;
- Improvement of infrastructure services and facilities prospective areas;
- Increased community involvement and participation in business activities in the area of prospective members;
- Increased local and global economic linkages;
- Increased capacity of government in economic development in the area of prospective.
4. Policy Development of Disadvantaged Regions (Including Isolated and Frontier Regions).
- Increased availability of infrastructure services and facilities in the border region and left behind (as a front porch);
- Increasing the development of large-scale agribusiness in the region left behind and the border;
- Increased security of forestry and utilization of marine resources in the border regions;
- Increased provision of traffic checkpoints between countries;
- Improved security of the state border line.
5. Area Development Policy-Based Marine
- Improvement of infrastructure services and facilities-based regional marine (maritime);
- Increased development of large-scale marine-based industries;
- Development of fishing fleets;
- Increased utilization and development of small islands;
- Increased supervision of the utilization of marine resources;
- Increased security at the beach and sea borders freely.
Thursday, January 19, 2012
Cities Development Program for Small and Medium Enterprises
The program aims to: (1) improve the ability of development and productivity of small towns and medium, (2) increase the external functions of small towns and medium enterprises in a 'system of economic development areas "and establish an internal service these cities.
The main activities to be performed to mefasilitasi local government are:
1. Increased growth of small industries in small towns, especially the processing of agricultural industries (agroindustry) from rural areas, through: (a) the development of small industries sentrasentra using appropriate technology, (b) increasing function of the local market; (c ) improving infrastructure and transportation facilities that connect small towns with rural territories;.
2. Preparation and consolidation of basic social infrastructure in urban cities to small and medium enterprises can serve internal and external functions of his city, especially areas that are included in the unit area of economic development;
3. Empowerment capabilities: (a) The apparatus of professionalism in the management and productivity improvements the city, (b) entrepreneurship and management of small and medium entrepreneurs in improving business operations, including the application of 'good corporate governance', (c) the community to participate in decision-making policies urban public in towns small and medium enterprises;
4. Completion of institutional reforms and restructuring of institutions by applying the principles of 'good urban governance in the management of urban small towns and medium enterprises in order to improve the functioning of public services;
5. Empowerment of the city government's ability to mobilize development funds through:
(A) strengthening partnerships with the private and the public, (b) direct loans from commercial banks and the provincial and federal levels; (c) the issuance of local bonds (municipal bonds), (d) extension and intensification of taxes and levies;
6. Empowerment of small and medium businesses the ability, through: (a) provision of access to capital, (b) development of market information for local products, (c) the provision of appropriate technological assistance.
POLICY DEVELOPMENT AREA
- One government policies relating to regional economic development is to provide autonomy to the regions to implement regional development programs, so that all the accountability, management and financing by local governments.
- However, as known in spite of regional autonomy, economic development in the area not only from a regional development program (as a manifestation of the principle of decentralization), but also from sectoral programs (as an embodiment of the principle of deconcentration). Both programs were run jointly by the government in order to bridge the gap between the regions economic development progress. However, to date sectoral programs still dominate regional programs, so that regional autonomy is real, dynamic, and responsible yet fully materialized.
- Strong growth is not yet fully enjoyed equally by society in the region. Interregional economic diversity is partly because the level of significant differences in growth rates between regions, the potential between regions that have been developed, the rate of population growth, inflation, employment by sector, the quality of human resources, facilities available across regions and levels of labor productivity between regions.
- In addition, disparities between regions due to different economic structures, where the dominant fast-growing sector could encourage other sectors which in turn affect economic growth in the area. Ekonmi high growth will also affect the amount of contribution to the GDP of the Province.
- inter-regional imbalances in the economy regarding the pattern and direction of investment and allocation priorities among the various regions within the unitary state or province, especially regarding the investment in human resources and investment in physical infrastructure. This in turn will affect the rate of economic growth and per capita income levels between regions in a region, so the likelihood of difference and inequality in the pattern, growth rate and per capita income across various regions in a region within one country.
- Since 1999 economic growth began to increase, but because most of the districts still rely on economic growth in primary sectors such as natural resources, oil and gas, causing the income gap between regions is also increasing. This is illustrated by the contribution of primary sector is still relatively large, especially for oil and gas.
- This situation is in fact if not addressed with wise, will affect the economic structure of Jambi Province, which in turn dependent on oil and gas become large, and creativity to encourage other sectors can be reduced.
- Thus, if associated with a trend of increasing levels of income inequality across regions gives an indication that there is a positive relationship between levels of income disparities among regions with economic growth in the province of Jambi, for several periods. Characteristics very different areas between the western and eastern requires different handling, both in infrastructure and human resources.
Wednesday, January 18, 2012
handling of community-based flood
Across Indonesia, recorded 5590 the parent river and 600 of them potentially cause flooding. Flood-prone areas covered by these rivers reach the parent 1.4 million hectares. From various studies have been conducted, the flooding-prone regions, basically due to three things. First, human activities are causing changes in the spatial occurrence and impact on natural changes.
Second, natural events such as very high rainfall, rising sea levels, storms, and sebagainya.1 Third, environmental degradation such as loss of ground cover plants in catchment areas, siltation of rivers due to sedimentation, the narrowing of the river and so on.
Flooding not only causes the rice fields were flooded and so can not be harvested and devastated housing and settlements, but also damage facilities social services and community economic public infrastructure, and even casualties.
Greater losses if the disruption of economic activity and government, even cessation. Although community participation in order to control flooding is very real. especially in emergency response activities, but the flooding causing additional financial burden countries, mainly to rehabilitate and restore damaged public parasana function.
The occurrence of a series of floods in a relatively short time and be repeated every year, demands for greater efforts to anticipate it, so the loss can be minimized.
Government efforts that are structural (structural approach), was not fully able to address the problem of flooding in Indonesia. Flood prevention, has been more focused on providing the physical building of flood control to reduce the impact of disasters.
In addition, although the non-physical policy - which generally includes participation society - in the response to flooding has been made, but not implemented properly, does not even fit the needs of society, so that its effectiveness is questionable.
Sectoral policies, centralized, and top-down without involving the community already not in accordance with the global developments that require decentralization, democracy, and participation of stakeholders, especially communities affected disaster.
The question is who is called society? How far can people participate? And at the stage where the public can participate?
The answers to these questions, should be considered in formulate and implement policies of community participation in flood mitigation. Policy mistakes caused the various interests of the individual / group is more dominant, then the policy used for the benefit of a negative.
As a result policies established ineffective, even canceled. Thus,flood prevention are just mere physical development (structural approach), should be synergized with the construction of non-physical (non-structural approach), which provide more space for the emergence of community participation, so the result is more optimal. From the above, flood prevention policy that is physical, must be balanced with measures of non-physical, so the role of the community and other stakeholders were given the appropriate place.
In order for flood prevention is more integrative and effective, it is necessary not only coordination at the implementation level, but also at the level of policy planning, including community participation and other stakeholders. Based on the consideration that, as an institution which was assigned to coordinate the planning of development, National Development Planning Agency examines a comprehensive flood prevention policy and unbiased sectors and regions, with emphasis on community participation in flood mitigation.
source picture: beritadaerah.com
source picture: beritadaerah.com
Subscribe to:
Posts (Atom)