KAWASAN AGROPOLITAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH YANG BERBASIS RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986).
Kondisi tersebut diatas, ditunjukkan dengan tingginya laju urbanisasi. Data Survey Penduduk Antarsensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20 %. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian.
Meskipun demikian, pengembangan kawasan agropolitan sebagai bagian dari pengembangan wilayah nasional tidak bisa terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan matra spasial yang menjadi kesepakatan bersama. RTRWN penting untuk dijadikan alat untuk mengarahkan pengembangan kawasan agropolitan sehingga pengembangan ruang nasional yang terpadu dan sistematis dapat dilaksanakan. Sosialisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan tentang hal ini mutlak diperlukan, sehingga muncul pemahaman bersama tentang pentingnya proses ini untuk mewujudkan pembangunan yang serasi, seimbang, dan terintegrasi
Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan
Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Siswono Yudohusodo, 2002)
No comments:
Post a Comment